BADAI & TUAN

By menuruthclara.blogspot.com - Agustus 03, 2019

Kami sedang dipuncak, menghadapi badai yang beberapa bulan terakhir tak mau hengkang. Dia hidup menghantui setiap langkah, membuat kami lemah dan lupa bahwa kami mempunyai kehidupan.
Kegelisahan terselip dibalik wajah-wajah cerah terpaksa. Apalagi bapak yang sudah tua, tapi memaksa tubuhnya beroperasi seperti masa muda. Walau setiap warna ditubuhnya mulai luntur, ingatannya dia dengan jiwanya yang lama. Dia dengan sikap keras kepala dan egois yang merupakan khas dirinya.
Tapi dibalik itu dia menyimpan sejuta keajaiban yang membekas.
Bapak adalah buku diary pertama dimana aku mencurahkan semuanya. Walau saat malam dia seperti seorang nahkoda kapal perang, memaksaku mengarungi dunia menanggalkan kemalasan, mendorong supaya diriku menjadi sosok berguna.
Sejak kami berlayar ke berbagai dunia menambah pundi - pundi pengetahuan, batin kami kuat.
Dia menjadi peri pelindung. Bukan hanya untukku tapi untuk semua orang (walau kadang caranya membuat orang jengkel).
Aku tidak pernah percaya intuisi.
Tapi bapak percaya dan mengajarkan itu.
 Dia seperti peramal. Terbukti saat meteor pertama jatuh di duniaku. Dia tidak menutupi kenyataan dan memaksa segala perubahan mati-matian atau menyeka air mata dengan kalimat - kalimat yang menusuk hingga ke tulang.
Aku memahami betapa berartinya sebuah kesempatan dari bapak. Saat ada berita bahwa ada solusi dari kehancuran duniaku bapak mendorongku untuk melakukannya.
Aku bertumbuh dengan intuisi walaupun intuisi lain mulai menghantui. Jika sebelumnya aku dihibur, maka aku membalas budi kembali menghibur. Datang tersenyum mengucapkan terima kasih.
Ada banyak kerikil yang ku tabur selama perjalanan ini. Terutama untuk bapak. Apa aku menyesal ? Setiap orang akan merasakannya saat mengenang masa lalu.
Entah berapa kali aku menatap ke langit sejak tanganku menyentuh telapak kakinya berusaha menghilangkan sakit, menghilangkan dingin yang mendadak menyelimuti dirinya.
Sebelum masuk ruang operasi siang tadi , bapak menyempatkan diri menelepon.
Kami masih satu kota, jarak berpisah hanya beberapa km saja. Tapi dia bertanya seakan kami lama tak berjumpa , seakan dia jauh.
Menanyakan kabar apakah kami semua sehat ? Apakah aku sehat?
Dia mengucapkan terima kasih karena aku sehat. "Terima kasih ya Boru sudah sehat" kalimat paling menyentuh , paling berarti dan untuk pertama kalinya aku sadar bahwa aku diberarti didunia ini.  Kami masih sempat bercanda dan aku tau bapak tersenyum diseberang sana.
Dan selepas itu, sisanya hanya kabar tak enak yang mampir. Mamak bahkan berusaha menyembunyikannya.
Tapi sayang getar saat dia bicara , membuatku tau hal - hal buruk ditopang ya. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar