CRISTAL
Hai
aku Cristal. Aku memiliki kulit pucat , mata sipit berwarna hitam. Rambutku
katanya sehalus kain sutra, tubuhku tinggi seperti tiang listrik yang terletak
di dekat persimpangan rumah kuno yang ku tinggali. Tenang ini hanya perumpamaan.
Aku memiliki saudara bernama Intan ,
lebih tepatnya saudara kembar. Yang membedakan kami hanyalah warna rambut.
Intan memiliki rambut warna pirang dan sangat disukai banyak orang. Katanya,
Intan seperti barbie. Jika aku
mendengar perkataan tersebut, aku pastilah akan tertawa sambil bersembunyi di
balik telapak tanganku. Kenapa ? kenapa aku tertawa ? aku tertawa karena Intan
disamakan dengan benda mati berbahan plastik, yang jika pada waktunya akan
dibuang begitu saja.
“ Apa yang sedang kamu lakukan
Cristal ?” suara itu, aku begitu hapal. Suara itu , suara Intan. Dia tengah
berdiri diambang pintu kamarku dengan pakaian amat bagus.
“ Menulis.” Aku menyimpan buku
tersebut, di belakang.
“ Dan apa yang kamu tulis ?” aku
terdiam beberapa menit memikirkan sebuah alibi apa yang harus ku pakai agar dia
berhenti mengusik kegiatanku.
“ Hanya beberapa puisi. Siapa tahu
nanti sewaktu pelajaran sastra aku membutuh-“ kalimatku terpotong begitu
melihat sepatu kulit kebanggaan Intan menginjak kamarku. Beraninya dia!
“ Aku rasa kau belum buta , Intan.”
Ya. Aku tidak akan lagi berkata dengan sopan begitu ada orang yang beraninya
memasuki area pribadiku.
“ Kemarikan bukunya!” tangan Intan
menyentuh pergelangan tanganku. Matanya menyiratkan sebuah amarah dan keingintahuan
yang amat mendalam.
“ Tidak! Keluar atau aku akan
melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirimu , Intan.” Suaraku terdengar
seperti erangan serigala yang siap menerkam mangsanya. Bedanya, aku tidak
kelaparan dan aku najis memakan kulit manusia sejenis Intan.
“ Kemarikan, Cristal! Aku ini
kakakmu! “ Intan yang memang selau dirawat oleh ibu, diberikan asupan gizi
rutin setiap hari, membuatku kalah. Tanganku yang daritadi menggengam buku bersampul
kulit tersebut kini telah berpindah tangan.
Ada yang perlu kalian ketahui
sebelum kalian mendengar perkataan Intan, dari buku itu. Aku tak sudi seluruh
rahasiaku diberitahu mahluk menjijikan seperti Intan.
Aku adalah saudara kembar dari Intan
Carolina. Dia adalah artis besar yang kini diam-diam bersembunyi dibalik topeng
malaikatnya. Bohong besar! Ya! Apa yang pernah dia lakukan , seperti berbuat
amal, membantu korban banjir, memberikan bantuan pendidikan ke desa kami,
adalah hal yang didasarinya untuk mencari muka.
Tak ada orang yang tega berbuat
baik, sementara saudara kandungnya terkapar disebuah kamar tua terletak di
loteng rumah. Bergaul dengan debu, dan hanya berbicara pada serangga kecil yang
entah iya atau tidak mengetahui bahasa manusia. Usiaku dan Intan baru berumur
tujuh belas tahun. Dan di usia remaja ini kami memiliki nasib yang amat berbeda
seratus delapan puluh derajat. Jika Intan hidup dengan kemewahan, aku hidup
dengan sengsara. Jika takdir hidup Intan berdasarkan Tuhan, aku ? berdasarkan
tangan manusia.
Aku bukanlah orang ingin berpasrah
diri. Tapi berkali-kali aku melarikan diri, selalu saja aku kembali ke rumah
kuno ini. Jika seseorang memiliki kenangan disetiap sudut ruangan rumah yang
ditinggali, tidak denganku. Aku hanya memiliki kenangan yang seluas ruangan
ini, karena hanya diruangan inilah aku berotasi.
Aku bertemu dengan tetangga dan
orang-orang desa setiap seminggu sekali , karena asupan vitamin D alami dari
terik surya. Itupun dengan cara aku dibawa dengan leher ditali seperti anjing.
Tentu aku berjalan normal seperti manusia tapi dengan akting sebagai gadis gila
yang bau, busuk dan tak tau apa itu sosial. Dan bodohnya masyarakat desa
mempercayai. Bukan aku tak pernah berteriak. Aku sudah pernah melakukan itu
tepat saat bulan purnama. Raunganku serupa dengan serigala dibukit yang menjadi
pembatas antar desa tempat tinggalku dan desa seberang. Maksudku adalah ingin
melampiaskan kekesalanku, amarah , seluruh hal yang menekan diriku. Tapi Intan
dan ibu malah mengatakan jika aku ingin membunuh mereka dengan memanggil warga
agar membakar mereka dan rumah ini. Semenjak itu, aku dikatai anak sial meski
tak mengerti apa hubungannya dengan kejadian berteriak tersebut.
Intan memandangiku kini dengan
tatapan tajam, dan aku bersumpah kini dia akan menerjangku. Dia meludahi lantai
kamarku, membuatku semakin murka.
“ Ku kira kau akan membuat karya
agung yang bisa membangkitkan nama keluarga kita, Cristal! Tapi nyatanya, kau
membuat sampah! Kau memang tak ada gunanya Cristal. Seharusnya sejak dulu kau
dipasung dirumah sakit jiwa Kota.!” Seru Intan membuatku tersinggung.
Jelas-jelas dia yang sakit jiwa. Mengurung orang waras dan mengikatnya seperti
binatang. Aku meragukan bagaimana cara berpikir Intan sekarang.
“ Itu karya agung yang menurutku
sangat sempurna. Silahkan baca jika-“ Intan melangkah menarik rambutku segera.
Aku tak berdaya dan hanya bisa mengerang kesakitan. Tangan kanannya yang
leluasa, dan kebetulan dekat dengan meja kayu yang sudah lapuk tampak berusaha
menggapai sesuatu. Dibalik buramnya mataku karena air mata yang sudah nyaris
penuh, ku lihat kini tangannya mencengkram erat sebuah gunting yang biasa ku
pakai untuk menggunting kuku, atau rambutku.
“ Tadinya aku ingin mengirimu ke
Rumah sakit jiwa, tapi sepertinya itu membuang waktu dan biaya! Lebih baik ku
rusak wajahmu itu!” Intan menancapkan ujung gunting tersebut ke wajahku. Rasa
perih dan hangatnya cairan yang mengalir kini menjalar diwajahku.
Apa yang harus aku lakukan ?
sedangkan menamparnya saja aku tak punya tenaga. Tancapan gunting ke wajahku
dilakukan oleh Intan lagi.
“ Sa..kit” lirihku. Intan justru
tertawa senang dengan apa yang baru saja dia lakukan.
“ Ternyata kau tau apa itu sakit?!
HAHAHA! Rasakan !” kini Intan menggunakan gunting itu sebagainya fungsinya.
Gunting itu bergerak diatas kepalaku , memangkas seluruh rambut dikepala.
“ Ini hukumanmu, Cristal! Karena kau
tidak hormat padaku!”
Aku hanya diam menurut. Bukankah
sebagai adik yang baik harus demikian. Semenjak aku lahir ke dunia ini,
takdirku sudah digariskan oleh ibu dan Intan. Aku hanya bisa menurut, jika
mungkin setelah ini Intan akan membunuhku.
“ Dan untuk bukumu, Cristal!” kini
Intan mengeluarkan sesuatu dari kantung gaun mewahnya. Sebuah pemantik dari
besi dengan ukiran khas jepara. Perlahan namun pasti, api itu membakar habis
karyaku. Aku hanya bisa menangis dan memegang debu yang kini tersisa.
Intan pergi, berakhir dengan pintu
di tutup cukup keras. Aku sudah terbiasa dengan itu, sehingga tubuhku tetap
mematung ditempat. Tetes darah itu masih saja mengalir. Aku bergerak ke sudut
kemudian pandanganku bertumpu pada satu hal. Gunting dengan lumuran darah yang
aku kenal. Aku bergerak mengambil gunting tersebut. Ku bersihkan ujung gunting
itu dengan bibirku, menjilat sendiri darahku. Sambil mencicipi darahku sendiri
, aku tersenyum merencanakan sesuatu.