CERITA PENDEK

By menuruthclara.blogspot.com - Februari 27, 2015

CRISTAL


Hai aku Cristal. Aku memiliki kulit pucat , mata sipit berwarna hitam. Rambutku katanya sehalus kain sutra, tubuhku tinggi seperti tiang listrik yang terletak di dekat persimpangan rumah kuno yang ku tinggali. Tenang ini hanya perumpamaan.

            Aku memiliki saudara bernama Intan , lebih tepatnya saudara kembar. Yang membedakan kami hanyalah warna rambut. Intan memiliki rambut warna pirang dan sangat disukai banyak orang. Katanya, Intan seperti barbie. Jika aku mendengar perkataan tersebut, aku pastilah akan tertawa sambil bersembunyi di balik telapak tanganku. Kenapa ? kenapa aku tertawa ? aku tertawa karena Intan disamakan dengan benda mati berbahan plastik, yang jika pada waktunya akan dibuang begitu saja.

            “ Apa yang sedang kamu lakukan Cristal ?” suara itu, aku begitu hapal. Suara itu , suara Intan. Dia tengah berdiri diambang pintu kamarku dengan pakaian amat bagus.
            “ Menulis.” Aku menyimpan buku tersebut, di belakang.
            “ Dan apa yang kamu tulis ?” aku terdiam beberapa menit memikirkan sebuah alibi apa yang harus ku pakai agar dia berhenti mengusik kegiatanku.
            “ Hanya beberapa puisi. Siapa tahu nanti sewaktu pelajaran sastra aku membutuh-“ kalimatku terpotong begitu melihat sepatu kulit kebanggaan Intan menginjak kamarku. Beraninya dia!
            “ Aku rasa kau belum buta , Intan.” Ya. Aku tidak akan lagi berkata dengan sopan begitu ada orang yang beraninya memasuki area pribadiku.
           “ Kemarikan bukunya!” tangan Intan menyentuh pergelangan tanganku. Matanya menyiratkan sebuah amarah dan keingintahuan yang amat mendalam.
            “ Tidak! Keluar atau aku akan melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirimu , Intan.” Suaraku terdengar seperti erangan serigala yang siap menerkam mangsanya. Bedanya, aku tidak kelaparan dan aku najis memakan kulit manusia sejenis Intan.
          “ Kemarikan, Cristal! Aku ini kakakmu! “ Intan yang memang selau dirawat oleh ibu, diberikan asupan gizi rutin setiap hari, membuatku kalah. Tanganku yang daritadi menggengam buku bersampul kulit tersebut kini telah berpindah tangan.
            Ada yang perlu kalian ketahui sebelum kalian mendengar perkataan Intan, dari buku itu. Aku tak sudi seluruh rahasiaku diberitahu mahluk menjijikan seperti Intan.
            Aku adalah saudara kembar dari Intan Carolina. Dia adalah artis besar yang kini diam-diam bersembunyi dibalik topeng malaikatnya. Bohong besar! Ya! Apa yang pernah dia lakukan , seperti berbuat amal, membantu korban banjir, memberikan bantuan pendidikan ke desa kami, adalah hal yang didasarinya untuk mencari muka.

            Tak ada orang yang tega berbuat baik, sementara saudara kandungnya terkapar disebuah kamar tua terletak di loteng rumah. Bergaul dengan debu, dan hanya berbicara pada serangga kecil yang entah iya atau tidak mengetahui bahasa manusia. Usiaku dan Intan baru berumur tujuh belas tahun. Dan di usia remaja ini kami memiliki nasib yang amat berbeda seratus delapan puluh derajat. Jika Intan hidup dengan kemewahan, aku hidup dengan sengsara. Jika takdir hidup Intan berdasarkan Tuhan, aku ? berdasarkan tangan manusia.

            Aku bukanlah orang ingin berpasrah diri. Tapi berkali-kali aku melarikan diri, selalu saja aku kembali ke rumah kuno ini. Jika seseorang memiliki kenangan disetiap sudut ruangan rumah yang ditinggali, tidak denganku. Aku hanya memiliki kenangan yang seluas ruangan ini, karena hanya diruangan inilah aku berotasi.

            Aku bertemu dengan tetangga dan orang-orang desa setiap seminggu sekali , karena asupan vitamin D alami dari terik surya. Itupun dengan cara aku dibawa dengan leher ditali seperti anjing. Tentu aku berjalan normal seperti manusia tapi dengan akting sebagai gadis gila yang bau, busuk dan tak tau apa itu sosial. Dan bodohnya masyarakat desa mempercayai. Bukan aku tak pernah berteriak. Aku sudah pernah melakukan itu tepat saat bulan purnama. Raunganku serupa dengan serigala dibukit yang menjadi pembatas antar desa tempat tinggalku dan desa seberang. Maksudku adalah ingin melampiaskan kekesalanku, amarah , seluruh hal yang menekan diriku. Tapi Intan dan ibu malah mengatakan jika aku ingin membunuh mereka dengan memanggil warga agar membakar mereka dan rumah ini. Semenjak itu, aku dikatai anak sial meski tak mengerti apa hubungannya dengan kejadian berteriak tersebut.

          Intan memandangiku kini dengan tatapan tajam, dan aku bersumpah kini dia akan menerjangku. Dia meludahi lantai kamarku, membuatku semakin murka.

            “ Ku kira kau akan membuat karya agung yang bisa membangkitkan nama keluarga kita, Cristal! Tapi nyatanya, kau membuat sampah! Kau memang tak ada gunanya Cristal. Seharusnya sejak dulu kau dipasung dirumah sakit jiwa Kota.!” Seru Intan membuatku tersinggung. Jelas-jelas dia yang sakit jiwa. Mengurung orang waras dan mengikatnya seperti binatang. Aku meragukan bagaimana cara berpikir Intan sekarang.
            “ Itu karya agung yang menurutku sangat sempurna. Silahkan baca jika-“ Intan melangkah menarik rambutku segera. Aku tak berdaya dan hanya bisa mengerang kesakitan. Tangan kanannya yang leluasa, dan kebetulan dekat dengan meja kayu yang sudah lapuk tampak berusaha menggapai sesuatu. Dibalik buramnya mataku karena air mata yang sudah nyaris penuh, ku lihat kini tangannya mencengkram erat sebuah gunting yang biasa ku pakai untuk menggunting kuku, atau rambutku.
            “ Tadinya aku ingin mengirimu ke Rumah sakit jiwa, tapi sepertinya itu membuang waktu dan biaya! Lebih baik ku rusak wajahmu itu!” Intan menancapkan ujung gunting tersebut ke wajahku. Rasa perih dan hangatnya cairan yang mengalir kini menjalar diwajahku.

            Apa yang harus aku lakukan ? sedangkan menamparnya saja aku tak punya tenaga. Tancapan gunting ke wajahku dilakukan oleh Intan lagi.
            “ Sa..kit” lirihku. Intan justru tertawa senang dengan apa yang baru saja dia lakukan.
            “ Ternyata kau tau apa itu sakit?! HAHAHA! Rasakan !” kini Intan menggunakan gunting itu sebagainya fungsinya. Gunting itu bergerak diatas kepalaku , memangkas seluruh rambut dikepala.
            “ Ini hukumanmu, Cristal! Karena kau tidak hormat padaku!”
            Aku hanya diam menurut. Bukankah sebagai adik yang baik harus demikian. Semenjak aku lahir ke dunia ini, takdirku sudah digariskan oleh ibu dan Intan. Aku hanya bisa menurut, jika mungkin setelah ini Intan akan membunuhku.
           “ Dan untuk bukumu, Cristal!” kini Intan mengeluarkan sesuatu dari kantung gaun mewahnya. Sebuah pemantik dari besi dengan ukiran khas jepara. Perlahan namun pasti, api itu membakar habis karyaku. Aku hanya bisa menangis dan memegang debu yang kini tersisa.


           Intan pergi, berakhir dengan pintu di tutup cukup keras. Aku sudah terbiasa dengan itu, sehingga tubuhku tetap mematung ditempat. Tetes darah itu masih saja mengalir. Aku bergerak ke sudut kemudian pandanganku bertumpu pada satu hal. Gunting dengan lumuran darah yang aku kenal. Aku bergerak mengambil gunting tersebut. Ku bersihkan ujung gunting itu dengan bibirku, menjilat sendiri darahku. Sambil mencicipi darahku sendiri , aku tersenyum merencanakan sesuatu. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar