NIGHT
STORY
Malam
harusnya larut dengan suara kendaraan , atau beberapa binatang malam yang
bekoar mengisi hitamnya malam. Tapi tidak dengan rumah berbentuk L dengan
desain sederhana yang terletak di pinggir jalan. Rumah itu lekat dengan ciri
khas sebuah pohon rindang yang menjulang tinggi. Di pohon itu , sebelum senja
muncul ke permukaan , beberapa ayam akan mulai mengambil tempat yang nyaman
untuk menyaksikan tenggelamnya matahari. Ayam-ayam itu akan bertengger
menyelami malam dan terbangun sebelum matahari terbit.
Matahari sudah mengambil aba-aba. Seperti
biasa, salah satu ayam mulai mendekati pohon rindang itu. Ayam berbulu hitam legam tersebut bernama Cika. Dia
yang hendak naik ke ranting salah satu ranting pohon tampak was-was
memperhatikan seorang gadis yang sedang menyapu disekitar daerah pohon rindang.
“ Kenapa Cika ? “ Cika yang tadi
memantau gadis itu kini beralih pandanganya kepada ayam jago.
“ Itu, lihatlah gadis itu. Wajahnya
begitu masam sambil menyapu. Daritadi dia juga menggerutu tentang banyaknya
kotoran kita disekitar halaman rumahnya” kata Cika.
“ Benarkah ?? Apa kita harus pindah
saja ?” kata Ayam Jago memberikan saran.
“ Kenapa harus pindah ? lagipula
tuan pemilik rumah ini justru setiap pagi ku lihat dengan senang hati
membersihkan pekarangan rumah ini” kata Cika dan kini dia tampak risih dengan
debu yang kini mengenai tempat Cika dan Jago berdiri.
“ Dasar. Ayam-ayam tak tahu diri!”
gerutuan itu terdengar jelas oleh Cika membuat dia emosi. Gadis penyapu itu
kemudian menjulurkan ujung sapunya kea rah Cika dan Jago.
“ Hush! Hush! Kalian tidak tau diri
ya! Bisanya membuat pekarangan kotor saja! Capek aku membersihkan halaman
ini!!!” gadis itu kini tampak marah dan mulai memukuli Cika dan Jago.
“ Aduhhh! Sakit!” erang Cika.
“ Rasakan!!!” kata gadis itu setelah
dia melihat Cika dan Jago berlari tunggang langgang menjauh dari sekitar pohon
rindang.
Hal itulah yang terjadi terus
menerus jika ayam-ayam ingin naik ke dahan pohon bermaksud menginap disana. Setelah
kejadian Cika dan Jago banyak juga ayam yang melapor jika mereka dipukul dengan
sapu serta tidak ketinggalan pula caci makian dari gadis penyapu tersebut.
Semenjak itu para ayam memutuskan untuk naik ke dahan pohon setelah gadis itu
tak lagi membersihkan pekarangan depan rumah.
Tidak hanya itu perjuangan yang dihadapi
oleh Cika dan ayam lainnya. Setiap malam harusnya mereka mendengarkan orchestra
dari para binatang malam yang mungkin kedengarannya rancu bagi manusia, tapi
bagi para binatang hal itu begitu indah. Ketika para jangkrik mulai
berkumandang, suara berisik dari dalam rumah sederhana itu kini terdengar
mengalahkan suara jangkrik. Para jangkrik segera berkumpul di bawah pohon.
“ Ada apa lagi didalam rumah itu.
tiada hari tanpa ribut” kata salah satu jangkrik dengan tampang malasnya.
“ Entahlah. Aku juga bosan mendengar
pertengkaran mereka yang itu-itu saja.” Kata jangkrik yang lainnya.
Keadaan dirumah itu begitu kacau,
sepulang seorang wanita dengan motor berknalpot yang begitu mengganggu lingkungan
sekitar. Wanita itu seorang ibu yang kini berganti profesi menjadi tulang
punggung keluarga. Anaknya empat terdiri dari dua perempuan dan dua laki-laki. Suaminya
sudah sakit-sakitan sementara
anak-anaknya sibuk dengan pendidikan. Tragisnya lagi, dari antara ke empat
orang anaknya, hanya satu orang yang memiliki indeks prestasi yang baik. Selebihnya
pas-pasan karena hanya unggul di beberapa bidang saja.
Malam itu , orang-orang didalam
rumah begitu ribut. Si anak sulung sibuk dengan laptopnya mengerjakan tugas
kelompok yang didiskusikan lewat internet.
“ Tidak bisakah kau membantuku ?!
apa sih yang kalian kerjakan ? bahkan toilet dirumah ini sudah lama tak
dibersihkan! Aku jijik melihatnya!” gerutu wanita itu pada anak-anaknya.
“ Kenapa sih, ibu selalu
melampiaskan emosi lelah ibu pada kami?!” kata anak ketiga.
“ Bisa tidak kalian diam! Tidak ada
gunanya aku menonton televisi jika suara kalian lebih besar dari suara televise!!
“ Seru si anak ke empat.
“ Kenapa pakaian di dekat lemari
kalian tidak dibereskan! Sudah berapa kali ibu katakana pada kalian, kerjakan
terlebih dahulu pekerjaan dirumah ini baru kalian bisa berleha-leha.” Wanita itu
sibuk dengan masakannya kini, tapi bibirnya tetap komat-kamit mengkritik
keadaan rumah yang menurut wanita itu tidak sempurna.
“ Kapan kalian akan menyimpan
pakaian itu! jangan bilang kalian ingin menyuruh ayah kalian yang pesakitan!”
seru wanita itu lagi.
“ Sudahlah…jangan ribut. Tidak enak
denga-“
“ Biarkan! Biarkan saja tetangga dan
orang-orang mendengar supaya mereka tau jika orang-orang dirumah ini tidak ada
yang becus.” Kata wanita itu dengan cepat. Si sulung bisa membayangkan wajah
bengis ibunya. Tapi dia tidak mau ambil pusing, karena baginya yang berharga
saat ini adalah tugasnya.
“ Lihat! Nasi yang tinggal sedikit
saja tidak ada diperhatikan! Apa sih yang kalian kerjakan! Percuma ada
perempuan sudah besar, tapi tidak bisa diharapkan! Lebih baik aku tidak punya
anak daripada kalian –“
“ Jangan pernah berkata seperti itu,
bu.” Suara itu terdengar dingin. Suara itu adalah suara suaminya yang kini
berdiri dengan susah payah sambil menyanggah tubuhnya di sisi ambang pintu.
“ Biarkan! Memang mereka-“
“ DARI TADI RUMAH INI DAMAI TENRAM,
TIDAK ADA KERIBUTAN! KALIAN KIRA KALIAN SUDAH BERBUAT BENAR! “ kini si sulung
bersuara dengan menggeram.
“ Tidak usah berkata ini dan itu,
harusnya , lebih baik , biarkan! Biarkan! Biarkan! , Lihat! Kapan! Kami tau apa yang harus kami lakukan! Kami
tau apa yang harus kami perbuat! KAMI TAHU,BU! “ kata si sulung dengan menekan
setiap kalimat.
“ Kalau tau kenapa tidak diperbuat
dengan segera. Kalian kira, hanya kalian yang lelah. Lebih lelah mencari uang,
tau!” teriak wanita itu kini dihadapan si sulung. Wanita itu tampak ingin
menerkam si sulung. Matanya nyaris keluar, uratnya kini menonjol seperti ingin
membelah kulit tipis yang melindungi urat-urat tersebut.
“ Kami melakukannya dengan cara kami
sendiri” kata si sulung dengan cepat. Dia tidak ingin berteriak karena bagi
dia, tidak penting membuang tenaga untuk hal kekanakan seperti sekarang. Wanita itu masih membalas perkataan si sulung.
Tapi dibalik itu semua si sulung memilih mundur dan pergi ke gudang yang tak
jauh dari dapur.
Si sulung duduk disudut kegelapan
ruangan kecil berbentuk persegi panjang tersebut. Debu dan angin dibiarkannya
mengisi kekosongan. Isakan kecil terdengar dan bunyi suara hidung yang sedang
dibersihkan membuat jangkrik dan ayam bergidik jijik.
“ Menurutmu, kenapa si sulung ?”
tanya Jangkrik kepada Cika dan Jago yang daritadi mendengar apa yang terjadi
didalam rumah tersebut dengan cara seksama,
“ Selama aku tinggal dan dirawat
oleh tuan rumah ini, Si sulung anak yang baik dan memang dia sedikit keras
kepala serta cuek. Tapi dia berbeda dari anak kedua dan ketiga keluarga ini. Dibalik
sorot mata tajam, dingin dan egoisnya, si sulung sebenarnya rapuh. “ kata ayam
jago tiba-tiba.
“ Pernah suatu hari aku melihatnya
menulis di sebuah buku, jika dia begitu mengasihi kedua orang tuanya. Terlebih tuan
kita. Dia benci dengan sikap ibunya yang berubah semenjak tuan tidak lagi
bekerja.”
Mendengar itu, Cika dan Jangkrik
tertunduk lesu. Mereka kini diam sambil menikmati isakan tangis yang lambat
laun berubah menjadi sebuah suara mencebik.
“ Aku menangis karena hal seperti
ini. “ tampak suara decitan pintu terdengar. Jangkrik dan Cika kini
menebak-nebak bagaimana keadaan sulung sekarang.
“ Mungkin dia sudah bangkit lagi.”
kata Ayam jago.
Malam itu , selalu seperti itu.
setiap wanita itu pulang jarang ada sebuah tawa ceria atau sapaan hangat. Kalau
pun ada hanya bertahan beberapa detik. Tak hanya suara alam dan mesin kendaraan
yang terdengar ditiap malam, ada suara-suara yang mengudara bisa terdengar
secara jelas. Suara malam tak butuh jawaban. Suara dimalam hari hanya butuh sebuah
ruang untuk penyampaiannya. Suara-suara malam itu akan membentuk sebuah cerita
malam yang akan menghilang begitu matahari terbit. Semuanya akan lupa apa yang
terjadi ketika malam kemarin ?
0 komentar