The Man
.Mozaik.
Dua
kali retak ku alami. Berkali-kali rasanya aku harus bisa menyetel dan menata
seluruh kehidupanku kembali. Tangis piluku akhir-akhir ini sering mengalir
meratapi setiap lika-liku kehidupan pahit.
Hanya
aroma kopi yang bisa memberikan alunan dan teriakan kenyamanan sejenak. Menutup
pintu dan membentengi dengan baja, pintu kenangan yang masih tersimpan rapi. Aku
duduk memandang langit yang sudah gelap, deruan lalu lintas yang ikut menghiasi
telinga. Lampu-lampu malam yang menambah warna-warni malam. Sebegitu indahnyakah
malam hingga semua orang membuang kekelaman mereka di malam hari bersama udara
dingin?.
Ketika
orang berusaha menikmati dinginnya malam, membuai pikiran dengan rapi dan
lihai, aku duduk di sudut rumah memandang malam dari atas sini dengan segelas
kopi dua ribu rupiah per bungkusnya. Bagiku kehangatan itu lebih penting dari
sebuah cita rasa yang dihasilkan. Cita rasa bisa di ciptakan setiap detik, tapi
untuk kehangatan hanya dalam hitungan waktu bisa termusnahkan. Ku rapatkan baju
hangatku untuk memberikan kenyamanan sambil menunggu kapan si perkasa timur
menunjukkan silaunya. Sanggupkah aku menunggu delapan jam, sama seperti
menunggu seseorang waktu itu.
Menginjak
usia hubungan kami di delapan bulan, sengaja aku membuat janji bertemu
dengannya di jam delapan malam di stasiun kereta. Sehari sebelumnya aku
memberitahunya jika aku akan pergi ke Yogya untuk melanjutkan pendidikan ku ke
perguruan tinggi favoritku. Hampir delapan jam aku menunggu, aku rela
melewatkan keretaku hanya ingin menemuinya. Dia tidak kunjung datang dan aku
sudah menunggu selama delapan jam delapan menit empat puluh delapan detik. Aku kecewa,
aku merasa luka. Satu kata yang tersirat dalam otakku adalah mungkin dia lupa.
Dengan
terpaksa aku tidur di stasiun, menunggu loket kembali buka untuk membeli tiket
ke Yogya di kereta selanjutnya. Seorang petugas kebersihan membangunkanku dan
dengan segera aku beranjak dari bangku yang ku Alaskan tempat untuk tidur tadi
malam. Saat hendak berdiri aku melihat sebuah amplop. Ku buka perlahan dan
mengintip dari dalam sebuah kertas putih. Aku menariknya dan aku membuka
lipatan kertas itu.
Hai.
Maaf.
Aku tidak datang tepat waktu kak.. tapi satu hal yang perlu kau tau, bahwa aku
mencintaimu. Selamat bulan ke delapan untuk hubungan kita. Maaf aku tidak bisa
menghantarkanmu dan hanya bisa menyampaikan sebuah pesan lewat surat ini. Sore
tadi sebelum keberangkatanmu, aku sudah memberikan ini kepada petugas
kebersihan agar menyampaikannya padamu. Kak, jika kau menerima surat ini maka
percayalah jika kita tidak akan pernah bertemu lagi. Pergilah sebebas yang kau
mau seperti cerita tidurmu kepadaku. Bebas seperti burung menerjang ribuan awan
di atas ketinggian yang luar biasa. Terbanglah bersama sayapmu, dan gunakan
sayap itu untuk menjadi pelindung seseorang yang benar-benar berhak berlindung,
di balik kekar sayapmu.
Maaf,
aku tidak bisa menepati janji kita akan bersama sampai di akhir masa depan yang
sudah sering kita angan-angankan. Secara teratur dan secara perlahan aku mundur
kak. Aku bukan meninggalkanmu karena cinta lain. Tapi aku meninggalkanmu karena
cinta dari sang mahakuasa yang sudah waktunya memanggilku. Bisakan kau mengikhlaskanku?
Sama seperti kau mengikhlaskan milyaran waktu bersamaku. Aku tau tadinya
seluruh hidupmu sudah hampir terpenuhi dengan kehadiranku. Tapi melemahnya
tubuh ini tak sanggup berada di sisimu selamanya.
Aku
akan memberikanmu kekuatanku, memberikan hatiku, semangatku , semua yang ku
miliki untukmu agar kau bisa kembali menjadi sosok yang sebelum aku kenal. Sosok
yang ku amati dari jauh selama ini adalah sosok tegar dan kuat, sabar dan
terlatih. Ingat, aku melihatmu, menillik mu sama seperti surat di dalam amplop
yang kau dapatkan.
Alisa.
Tak
ada kata kau mencintaiku di akhir, jujur membuatku agak ragu apakah kau
benar-benar mencintaiku? Setelah ku simak bisa ku pastikan kau pergi
meninggalkanku bersama cintaku. Entah mantra apa yang terselip dari balik surat
itu membuatku kembali tegar, kuat sama seperti pengamatan yang dilakukan Alisa,
seorang gadis yang mampu menghabiskan milyaran waktu bersamaku.
Aku
kembali ke masa kini, bukan berarti bermaksud meng-skip masa lalu ku, tapi ini waktunya aku bangkit. Dan kini aku
menemukannya di balik segelas kopi. Hangatnya mentari yang terserap oleh jutaan
organ tubuhku, ku anggap sisa senyum yang di bubuhkannya kepadaku. Malam gelap
yang meliputi dan menaburkan jutaan bintang, ku anggap sebuah kedamaian yang
selalu di bawanya padaku.
Mozaikku
kini hampir terisi penuh, ketika sosok Alisa di posisikan dengan Saila. Mungkin
mereka sosok yang sama dalam kemasan berbeda, sengaja diberikan oleh dewa
Cinta. Tapi retakan itu kembali. Jika orang mungkin mengatakan pada umumnya
pria lebih sering berselingkuh, terkadang sosok wanitalah yang lebih dulu
melakukannya. Ketika wanita lebih banyak menghabiskan waktunya dengan
teman-temannya secara tidak langsung wanita yang kita cintai sudah berselingkuh
dengan waktu dan kesempatan yang kita ciptakan. Tapi semua itu bagiku hanya
sebuah ilusi.
Saila
gadis itu berhasil menarik magnet dingin yang membeku di freezer . berusaha mencari dimana sisi baik dari jati dirinya, tak
pernah berhasil ku rangkum dalam notes pengamatanku. Aku memutuskan untuk
menjadikannya kekasihku. Mungkin aku pengidap antimainstream membuatku semakin
berani pada tantangan. Hingga akhirnya aku menemukan titik dimana selama ini
aku berusaha bertahan, kini harus menyerah. Komitmen yang ku bangun di atas
liang kubur Alisa ternoda sudah.
Mengingat
mozaik yang perlahan jatuh dan bangun berusaha mengisi kelengkapan pecahan kaca
dalam diriku, tampaknya aku perlu berusaha lagi. Ketika orang berusaha menyerah
dan mempermainkan semua yang sudah pernah memberikannya rasa terpuruk dan
memilih pelampiasan, aku memilih untuk mempelajari. Mungkin sekalipun aku di
selimuti amarah dan emosi, sebuah pikiran menabrak hingga aku bisa berjalan di
sisi positif. Terkadang jalan ku menyimpang tapi aku bisa kembali focus. Sosokku
mungkin terbilang sempurna. Tapi sekekar apapun tampang seorang pria, sebesar
apapun tubuh dan ototnya, pikiran mereka mungkin masih berlogika, tapi perasaan
mereka rapuh tak menentu arah.
Ku
habiskan kopiku, berniat membelah kota malam ini dengan seribu tapak kaki dari
sisa tenagaku. Ketika aku turun aku menemukan sebuah hiburan murahan. Tapi semakin
jauh aku melangkah aku menemukan sebuah hiburan kebahagiaan. Di sebuah jembatan
aku berdiri menatap kota yang kini menjadi isi dari bingkai kedua bola mataku. Hanya
syukur dan janji lelaki biasa yang aku torehkan. Tapi satu yang tidak biasa,
aku menorehkan doa untuk seluruh penyicip bumi ini.
0 komentar