.MOZAIK.

By menuruthclara.blogspot.com - Juni 11, 2014

The Man

.Mozaik.

                Dua kali retak ku alami. Berkali-kali rasanya aku harus bisa menyetel dan menata seluruh kehidupanku kembali. Tangis piluku akhir-akhir ini sering mengalir meratapi setiap lika-liku kehidupan pahit.
                Hanya aroma kopi yang bisa memberikan alunan dan teriakan kenyamanan sejenak. Menutup pintu dan membentengi dengan baja, pintu kenangan yang masih tersimpan rapi. Aku duduk memandang langit yang sudah gelap, deruan lalu lintas yang ikut menghiasi telinga. Lampu-lampu malam yang menambah warna-warni malam. Sebegitu indahnyakah malam hingga semua orang membuang kekelaman mereka di malam hari bersama udara dingin?.
                Ketika orang berusaha menikmati dinginnya malam, membuai pikiran dengan rapi dan lihai, aku duduk di sudut rumah memandang malam dari atas sini dengan segelas kopi dua ribu rupiah per bungkusnya. Bagiku kehangatan itu lebih penting dari sebuah cita rasa yang dihasilkan. Cita rasa bisa di ciptakan setiap detik, tapi untuk kehangatan hanya dalam hitungan waktu bisa termusnahkan. Ku rapatkan baju hangatku untuk memberikan kenyamanan sambil menunggu kapan si perkasa timur menunjukkan silaunya. Sanggupkah aku menunggu delapan jam, sama seperti menunggu seseorang waktu itu.
                Menginjak usia hubungan kami di delapan bulan, sengaja aku membuat janji bertemu dengannya di jam delapan malam di stasiun kereta. Sehari sebelumnya aku memberitahunya jika aku akan pergi ke Yogya untuk melanjutkan pendidikan ku ke perguruan tinggi favoritku. Hampir delapan jam aku menunggu, aku rela melewatkan keretaku hanya ingin menemuinya. Dia tidak kunjung datang dan aku sudah menunggu selama delapan jam delapan menit empat puluh delapan detik. Aku kecewa, aku merasa luka. Satu kata yang tersirat dalam otakku adalah mungkin dia lupa.
                Dengan terpaksa aku tidur di stasiun, menunggu loket kembali buka untuk membeli tiket ke Yogya di kereta selanjutnya. Seorang petugas kebersihan membangunkanku dan dengan segera aku beranjak dari bangku yang ku Alaskan tempat untuk tidur tadi malam. Saat hendak berdiri aku melihat sebuah amplop. Ku buka perlahan dan mengintip dari dalam sebuah kertas putih. Aku menariknya dan aku membuka lipatan kertas itu.
       Hai.
Maaf. Aku tidak datang tepat waktu kak.. tapi satu hal yang perlu kau tau, bahwa aku mencintaimu. Selamat bulan ke delapan untuk hubungan kita. Maaf aku tidak bisa menghantarkanmu dan hanya bisa menyampaikan sebuah pesan lewat surat ini. Sore tadi sebelum keberangkatanmu, aku sudah memberikan ini kepada petugas kebersihan agar menyampaikannya padamu. Kak, jika kau menerima surat ini maka percayalah jika kita tidak akan pernah bertemu lagi. Pergilah sebebas yang kau mau seperti cerita tidurmu kepadaku. Bebas seperti burung menerjang ribuan awan di atas ketinggian yang luar biasa. Terbanglah bersama sayapmu, dan gunakan sayap itu untuk menjadi pelindung seseorang yang benar-benar berhak berlindung, di balik kekar sayapmu.
Maaf, aku tidak bisa menepati janji kita akan bersama sampai di akhir masa depan yang sudah sering kita angan-angankan. Secara teratur dan secara perlahan aku mundur kak. Aku bukan meninggalkanmu karena cinta lain. Tapi aku meninggalkanmu karena cinta dari sang mahakuasa yang sudah waktunya memanggilku. Bisakan kau mengikhlaskanku? Sama seperti kau mengikhlaskan milyaran waktu bersamaku. Aku tau tadinya seluruh hidupmu sudah hampir terpenuhi dengan kehadiranku. Tapi melemahnya tubuh ini tak sanggup berada di sisimu selamanya.
Aku akan memberikanmu kekuatanku, memberikan hatiku, semangatku , semua yang ku miliki untukmu agar kau bisa kembali menjadi sosok yang sebelum aku kenal. Sosok yang ku amati dari jauh selama ini adalah sosok tegar dan kuat, sabar dan terlatih. Ingat, aku melihatmu, menillik mu sama seperti surat di dalam amplop yang kau dapatkan.
Alisa.

                Tak ada kata kau mencintaiku di akhir, jujur membuatku agak ragu apakah kau benar-benar mencintaiku? Setelah ku simak bisa ku pastikan kau pergi meninggalkanku bersama cintaku. Entah mantra apa yang terselip dari balik surat itu membuatku kembali tegar, kuat sama seperti pengamatan yang dilakukan Alisa, seorang gadis yang mampu menghabiskan milyaran waktu bersamaku.
                Aku kembali ke masa kini, bukan berarti bermaksud meng-skip masa lalu ku, tapi ini waktunya aku bangkit. Dan kini aku menemukannya di balik segelas kopi. Hangatnya mentari yang terserap oleh jutaan organ tubuhku, ku anggap sisa senyum yang di bubuhkannya kepadaku. Malam gelap yang meliputi dan menaburkan jutaan bintang, ku anggap sebuah kedamaian yang selalu di bawanya padaku.
                Mozaikku kini hampir terisi penuh, ketika sosok Alisa di posisikan dengan Saila. Mungkin mereka sosok yang sama dalam kemasan berbeda, sengaja diberikan oleh dewa Cinta. Tapi retakan itu kembali. Jika orang mungkin mengatakan pada umumnya pria lebih sering berselingkuh, terkadang sosok wanitalah yang lebih dulu melakukannya. Ketika wanita lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman-temannya secara tidak langsung wanita yang kita cintai sudah berselingkuh dengan waktu dan kesempatan yang kita ciptakan. Tapi semua itu bagiku hanya sebuah ilusi.
                Saila gadis itu berhasil menarik magnet dingin yang membeku di freezer . berusaha mencari dimana sisi baik dari jati dirinya, tak pernah berhasil ku rangkum dalam notes pengamatanku. Aku memutuskan untuk menjadikannya kekasihku. Mungkin aku pengidap antimainstream membuatku semakin berani pada tantangan. Hingga akhirnya aku menemukan titik dimana selama ini aku berusaha bertahan, kini harus menyerah. Komitmen yang ku bangun di atas liang kubur Alisa ternoda sudah.
                Mengingat mozaik yang perlahan jatuh dan bangun berusaha mengisi kelengkapan pecahan kaca dalam diriku, tampaknya aku perlu berusaha lagi. Ketika orang berusaha menyerah dan mempermainkan semua yang sudah pernah memberikannya rasa terpuruk dan memilih pelampiasan, aku memilih untuk mempelajari. Mungkin sekalipun aku di selimuti amarah dan emosi, sebuah pikiran menabrak hingga aku bisa berjalan di sisi positif. Terkadang jalan ku menyimpang tapi aku bisa kembali focus. Sosokku mungkin terbilang sempurna. Tapi sekekar apapun tampang seorang pria, sebesar apapun tubuh dan ototnya, pikiran mereka mungkin masih berlogika, tapi perasaan mereka rapuh tak menentu arah.
                Ku habiskan kopiku, berniat membelah kota malam ini dengan seribu tapak kaki dari sisa tenagaku. Ketika aku turun aku menemukan sebuah hiburan murahan. Tapi semakin jauh aku melangkah aku menemukan sebuah hiburan kebahagiaan. Di sebuah jembatan aku berdiri menatap kota yang kini menjadi isi dari bingkai kedua bola mataku. Hanya syukur dan janji lelaki biasa yang aku torehkan. Tapi satu yang tidak biasa, aku menorehkan doa untuk seluruh penyicip bumi ini.  

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar