Mendengar Masa Lalu
Ruth Clara
Manurung
Sudah
banyak ku dengar cerita.
Tetapi
tidak ada cerita seperti ini. Cerita yang mampu membuatku penasaran, hingga
ingin merasakan di masa itu. Zaman ketika masih dalam penguasaan penjajah,
begitulah nuansa cerita Mamak.
Mamak
bercerita banyak tentang masa kecilnya ketika seorang pelanggan datang ke toko ,
hendak mencari perlengkapan sang putri yang akan segera menikah.
Dulu orang
tua mendidik anaknya sangat keras. Tidak jarang kita mendengar jika orang tua
kita dulu harus ikut banting tulang membangun ekonomi keluarga. Mamakku juga
demikian.
Berdasarkan
ceritanya aku tau kenapa mamakku tetap memilih menjadi pedagang begitu ekonomi
keluargaku merosot semenjak bapak pensiun, tepatnya dua tahun yang lalu. Dua
orang adikku bersekolah di swasta, aku baru memasuki perguruan tinggi negri.
Untungnya adikku yang nomor dua masuk Sekolah Menengah Utama di negri membuat
keuangan agak ringan. Dengan modal dana pensiun bapak, mamak buka usaha kebaya,
songket, ulos dan lain-lain. Perlahan semuanya mulai stabil.
Jadi masa
lalu mamakku seperti ini.
Mamak sejak
kelas dua SD sudah diajarkan berjualan oleh opung di Pasar Lama. Mamak
berjualan bumbu di Pasar lama yang katanya ketika ku dengar Pasar itu sudah
terbakar. Dulu mamak sering membantu opung. Mulai berdagang bumbu,
sayur-sayuran yang nanti ditenteng keliling kampung atau menjual makanan secara
diam-diam di kelas. Intinya, mamak bekerja serabutan demi membantu opung.
Kata Mamak,
dia sangat suka berdagang. Dulu waktu dia SD dia pernah berdagang kue-kue dan
mie goreng bungkus. Mamak membawa dagangannya dengan cara di isi penuh ke dalam
tasnya.
“ Kalau kita ke sekolah, pastinya bawa
buku kan ? kalau aku engga. Masa bodoh sama buku, yang penting daganganku
terbawa semua. “ kemudian kalimat itu diakhiri dengan tawa. Aku ikut tersenyum,
namun pikiranku berimajinasi sosok mamak yang kecil membawa tas besar yang di
isi penuh dengan dagangan.
“ Dulu jarak kantin dan kelas itu jauh. Orang-orang
jadi malas keluar. Nanti ku jual kue-kue itu, mie goreng itu ke teman-teman. Kalau
beli banyak ku berikan diskonlah”
“ Nah, berbulan-bulan aku jualan, gak
ketahuan. Ujung-ujungnya yang jualan di kantin curiga kenapa jarang ada yang
jajan di tempatnya. Diselidikilah ke kelas waktu itu. Aku ketauan jualan. Daganganku
di lempar, aku dimarahin sama tukang kantin itu. Terus aku di laporin ke guru.”
Ku lihat mamak masih senyum dan sesekali tertawa. Kalau aku jadi mamak pasti
sudah menangis.
“ Gara-gara itu , aku sempat gak naik
kelas. “ ku lihat mamak masih tertawa bangga. Akhirnya aku tahu kenapa adikku
yang nomor empat malas belajar dan nyaris beberapa kali tinggal kelas.
“ Dulu aku malas sekali belajar. Melihat itu,
Itoku ( abang laki-laki ) dan kakakku bilang, gak usahlah lagi kamu sekolah ya
dek. Terusin dagangan mamak (opungku ) aja. Habis yang malasan kamu belajar. Habis
biaya”
Untungnya
Mamak sadar kalau pendidikan itu penting. Dia meminta kepada kedua saduranya
itu untuk tetap melanjutkan pendidikan meski masuk ke dalam kelas sore.
“ Kalau misalnya aku gak sekolah, gak
bakalan ada ijazahku nanti. Ya mau gak mau aku tetap masuk meskipun ngambil
kelas sore. Jadi dikelas itu ngantuk-ngantuklah” kata Mamak sambil memperagakan
dia yang terkantuk-kantuk.
Pelangan itupun ikut tertawa. Tidak ketinggalan
aku juga. Sudah berkali-kali aku mendengar hal tersebut, tetapi entah kenapa
rasanya lebih seru sekarang.
“ Dulu lagi, kami harus mengambil ampas. Bayangin
aja dari lapangan bola bawah ke Tomuan “ Mamakku kebetulan orang siantar.
(angkat tangan orang siantar!! HIDUP SIANTAR!)
“ Itu jalan kaki loh. Ampas yang dibawa
beratnya minta ampun. Belum lagi kadang ampas itu netes-netes kena baju, muka. Aduh
jadi bau. Kalau dulu disuruh opung ngambil ampas , rasanya langsung bete. Kenapa
? karena tempat ngambil ampasnya itu kadang bocor. Tiap ngambil ampas,opung
nanti ngasih tau “ mamakku memperagakan gaya opungku dulu.
“ Nanti, pakai plastik alasin kepalamu ya
, Boru ( sebutan untuk anak perempuan dalam keluarga batak) tambahin kain-kain
supaya gak licin”
“ Nanti kami kesallah. Dalam hati
berpikir, udah taupun tempatnya rusak masih juga dipakai. “ kemudian aku
tertawa melihat mamak menambahkan mimik wajah kesal.
“ Begitulah dulu. Bekerja keras demi
hidup. Tapi anak-anak sekarang apa ?? …’
Aku sudah menebak jika nanti berujung pada
hal demikian. Begitu selesai bercerita tentang masa lampaunya, orang tua kerap
membandingkan dengan sekarang. Tapi , Ya sudahlah. Aku hanya mendengar dan
mendengar. Tertawa jika perlu tertawa. Tetapi buatku pengalaman mamak sangat
beharga. Meski anak-anak zaman sekarang suka membantah perkataan orang tuanya,
tapi aku yakin sebagian besar mereka menjadikan cerita masa lalu itu menjadi
pelajaran beharga demi masa depannya.
0 komentar